Senin, 19 Januari 2015

muzaro'ah dan mukhobaroh

PEMBAHASAN
Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah
A. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar).[1]
Muzara’ah semacam syirkah (kerja sama) di bidang pertanian untuk mengolah dan mengelola tanah. Dalam hal ini, pemilik dan pekerja membuat kesepakatan (akad) bahwa tanah milik yang pertama dan pekerjaan dilakukan oleh yang kedua, dengan hasil yang dibagi dua berdasarkan  persentase yang disepakati.[2]
Muzara’ah yaitu pembagian sawah atau ladang, seperdua, sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani (orang yang menggarap sawah).
Sedangkan Mukhabarah ialah pembagian sawah atau lading, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari yang punya sawah.[3]
Muzara’ah dan Mukhabarah memiliki makna yang berbeda, tetapi dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa Muzara’ah dan Mukhabarah ada kesamaan dan adapula perbedaanya. Persamaannya ialah muzara’ah dan mukhabarah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya  kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut mukhabarah dan bila modal dikeluarkan  dari pemilik tanah, disebut muzara’ah.
  1. Rukun-Rukunya
Menurut Hanafiyah ada 4
  1. Tanah
  2. Perbuatan pekerja
  3. Modal
  4. Alat-alat untuk menanam.[4]
  1. Dasar Hukum
 Muzara’ah adalah masyru’ (disyariatkan) berdasarkan ijma dan nash, di antaranya Imam as-Sadiq as, “muzara’ah dapat dilakukan dengan sepertiga, seperempat, seperlima…” juga ucapan beliau, “ketika menaklukkan khaibar, Rasulullah saw menyerahkannya (yakni pengelolaan tanah perkebunan khaibar) kepada mereka dengan (pembagian hasil) separuh.”
Seperti dalam hadis berikut:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَربِشَطْرٍ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرَعٍ
“Dari Ibnu Umar rahuma bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah memperkerjakan penduduk khoibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah dan tanaman.”[5]
  1. Muzara’ah Bersifat Mengikat
Penulis al-Jawahir berkata, “ Akad muzara’ah bersifat mengikat, menurut ijma’, berdasarkan kaidah luzum (kemengikatan) yang diambil dari (Qs. Maidah ayat:1)
$yg•ƒr’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Oleh karena itu, akadnya tidak akan gugur kecuali dengan taqayul (saling melepaskan diri dari akad) atau dengan persyaratan khiya, atau jika tanah sudah tidak produktif lagi. Akad muzara’ah tidak akan gugur dengan kematian salah satu dari kedua pelaku akad, sebagaimana  akad-akad lain yang bersifat mengikat. Jika pemilik tanah atau pekerja meninggal, maka ahli warisnya yang menggantikan.[6]
  1. Syarat-Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
  • Aqil dan Baligh
  • Ijab dari pemilik tanah dan qabul dari pekerja.
  • Kedua pelaku akad memiliki hak untuk melakukan secara langsung akad-akad tukar-menukar seperti ini.
  • Bagian milik masing-masing dari keduanya, yang dating dari hasil yang diperoleh, harus jelas dan musya’ antar keduanya, baik dengan bagian yang sama maupun berbeda  sesuai dengan kesepakatan.
  • Penentuan tanah atau lahan yang akan digarap.
  • Tanah harus layak dan baik untuk ditanami, meski perlu pengolahan dan perbaikan.
  • Penentuan masa berlakunya Muzara’ah dengan hari, atau bulan, atau tahun, dan harus mencukupi untuk masa tanam dan panen.
  1. F.  Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
  1. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d.Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani, tetapi tidak memiliki tanah garapan.
  1. G.  Pengertian Musaqah
Musaqah diambil dari kata al-saqaa yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.[7]
Musaqah (pengairan) adalah sejenis syirkah (kerja sama) untuk memperpleh hasil pohon, yaitu pemilik dan pekerja melakukan akad untuk itu dengan hasil yang dibagi secara musya’ (bersama-sama).
Musaqah  ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang antara keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaktu akad.
  1. Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun musaqah menurut ulama syafi’iyah ada lima berikut:
  1. Shigat
  2. Dua orang atau pihak yang berakad (al-‘aqidani)
  3. Kebun atau semua pohon yang berbuah
  4. Masa kerja, hendaknya ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan
  5. Buah, hendaknya ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan yang bekerja di kebun)
  1. I.   Disyariatkannya Musaqah
Kata “musaqah” tidak perlu digunakan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah, menggali hukum-hukumnya dari berbagai nash syariat, kemudian menggunakan istilah “Musaqah” untuk menyebut muamalah ini karena pohon sangat memerlukan air dan pengairan.
         Akad musaqah bersifat mengikat, maka masing dari kedua pihak tidak dapat memfasahkannya kecuali dengan kesepakatan pihak lain. Penulis al-jawahir berkata, “tidak ada perbedaan pendapat yang aku temukan dalam masalah ini karena akhidah dan dalil umum: aufu bil ‘uqud (penuhilah akad-akad itu)”.[8]
  1. J.  Masa berakhirnya Musaqah

Akad musaqah akan berakhir apabila :
a. Telah habis batas waktu yang telah disepakati bersama.
b. Petani penggarap tidak sanggup lagi bekerja.
c. Meninggalnya salah satu dari yang melakukan akad.
K. Hikmah Musaqah
  1. Dapat terpenuhinya kemakmuran yang merata.
  2. Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan petani penggarap).
  3. Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunnya dapat terawat dan menghasilkan.
  4. Disamping itu kesuburan tanahnya juga dapat dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Ibid. hal 153
[2] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Imam Ja’far Sadiq. Lentera. Jakarta. Hal 587
[3][3] H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Sinar baru algensindo. Bandung. Hal. 301-302
[4] Op. Cit. Prof. Dr. H. hendi Suhendi. Hal 158
[6] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Imam Ja’far Sadiq. Lentera. Jakarta. Hal 588
[7] Prof. Dr. H. hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. Raja grafindo persada. Jakarta. 2010. Hal 145
[8] Op. cit. Muhammad Jawad Mughniyah. Hal 609

Tidak ada komentar:

Posting Komentar