Syarat wajib wudhu itu bukan adanya air yang mencapai 2 qulah, sama
sekali bukan itu. Yang mnejadi syarat wajib wudhu itu ialah adanya air
mutlak yang cukup untuk membasuh anggota tubuh yang termasuk dalam
rukun wudhu;
[1] muka,
[2] tangan sampai siku,
[3] sebagian kepala, dan
[4] kaki sampai mata kaki. [1]
Dan
ini juga yang menjadi patokan boleh tidaknya tayammum. Kalau memang
ada air yang cukup untuk membasuh anggota tubuh rukun wudhu itu semua,
maka tidak ada alasan untuk tayammum. Tayammum hanya boleh jika memang
tidak ada air yang cukup untuk membasuh anggota rukun wudhu itu.
Nah, lalu dimana 2 qulah itu dibicarakan?
Sebagai pengingat, bahwa air 2 qulah itu
dalam kitab-kitab Al-Syafi'iyyah sering diterjemahkan ukurannya
menjadi 5 liter air menurut takaran orang Baghdad. Namun ulama
komtemporer menyimpulkan, takaran sekarang, air 2 qulah itu ialah 270 liter.
Dalam madzhab Al-Syafi'iyyah, 2 qulah itu menjadi pembicaraan dalam masalah air musta'mal (yang telah terpakai untuk bersuci), dan juga air mutanajis (yang kejatuhan najis). Dalam 2 masalah inilah, 2 qulah itu menjadi wacana yang penting.
2 Qulah dan Air Musta'mal
Air musta'mal,
dalam madzhab Al-Syafi'iyyah yaitu air yang telah dipakai untuk
bersuci yang sifatnya wajib, seperti wudhu atau mandi janabah. Bukan
bersuci yang sifatnya sunnah, seperti Tajdiid wudhu (memperbaharui wudhu), atau juga mandi yang bukan mandi janabah.[2]
Nah, air yang sudah terpakai itu memang statusnya suci, namun tidak bisa mensucikan, dalam bahasa kitab ialah Thaahir gheir muthohhir [طاهر غير مطهر] (suci tapi tidak bisa mensucikan). Air ini bisa berubah statusnya menjadi muthohhir (bisa mensucikan) jika air ini dikumpulkan dan mencapai 2 qulah atau lebih.
Maka, jika air yang telah terpakai itu dikumpulkan dan mnecapai batasan 2qulah atau bahkan lebih, statusnya bukan lagi disebut musta'mal, akan tetapi berubah menjadi air mutlak yang bisa digunakan untuk bersuci.
Imam Al-Syirbini, salah satu ulama Syafi'iyyah mengatakan, bahwa alasan kenapa air musta'mal itu
tidak bisa mensucikan karena memang dulu juga para sahabat, dengan
keadaan mereka yang minim air tidak mengumpulkan air-air yang telah
dipakai untuk wudhu atau bersuci untuk dipakai lagi kedua kalinya, akan
tetapi mereka malah langsung pindah ke tayammum. Karena mereka tidak
mungkin bersuci dengan air yang sudah tercampur dengan hadats.[3]
Lalu kenapa setelah mencapai 2 qulah air itu boleh digunakan? Karena air yang telah mencapau 2 qulah sudah terbebas dari najis, karena banyaknya volume air tersebut. Nabi saw bersabda:
إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ - وَفِي لَفْظٍ: - لَمْ يَنْجُسْ
"kalau air itu mencapai 2 qulah, maka ia tidak membawa najis –dalam riwayat lain- tidak najis" (HR. Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah dan An-Nasa'i)
2 qulah dan Air Mutanajis
Kemudian masalah air yang terkena najis, ini juga pembahasannya sama seperti apa yang telah disinggung pada pembahasan air musta'mal, hanya berbeda dalam beberapa poin.
Semua
ulama sejagad raya ini sepakat, jika ada air yang kejatuhan najis,
kemudian, air itu berubah salah satu dari 3 sifatnya; warna, bau dan
rasa, maka air it air najis, sedikit atau banyak air tersebut, dan
tentu saja tidak bisa dipakai untuk bersuci.
اَلْمَاءُ طَاهِرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ, أَوْ طَعْمُهُ, أَوْ لَوْنُهُ; بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ
"air itu suci, kecuali jika berubah (salah satu sifatnya) baunya, rasanya, atau warnanya" (HR. Al-Baihaqi)
Namun
ulama berbeda pendapat apabila air yang kejatuhan najis tidak berubah
sama sekali, tidak warnanya, tidak baunya dan tidak juga rasanya. Nah,
pada masalah ini madzhab Al-Syafi'iyyah membedakan antara air sedikit
dan air banyak. Air sedikit itu ialah air yang kurang dari 2 qula, dan air yang banyak itu ialah air yang telah mencapai 2 qulah atau lebih.
Dalam
madzhab ini, kalau air yang kejatuhan najis itu tidak berubah
sifatnya, maka dilihat apakah itu air banyak atau sedikit. Kalau itu
air sedikit maka berubah atau tidak berubah sifatnya, kalau kejatuhan
najis ya hukumnya ikut menjadi najis. Dan tentu daja yang najis tidak
bisa dipakai untuk bersuci.
Berbeda dengan air yang banyak, yaitu yang mencapai 2 qulah atau
lebih. Air yang seperti ini kalau kejatuhan najis, dan najis itu tidak
merubah sifat air tersebut, maka air ini tetap suci dan boleh
digunakan untuk bersuci.[4] Dalilnya sama seperti yang di atas:
إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ - وَفِي لَفْظٍ: - لَمْ يَنْجُسْ
"kalau air itu mencapai 2 qulah, maka ia tidak membawa najis –dalam riwayat lain- tidak najis" (HR. Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah dan An-Nasa'i)
Imam Nawawi dalam Al-Majmu' mengatakan bahwa hadits menjadi dalil kalau memang air yang mencapai 2 qulah itu tidak mengandung najis, karena kalau memang air yang sedikit (kurang dari 2 qulah) dan air banyak (yang mencapai 2 qulah /
lebih) itu sama saja hukumnya, lalu untuk apa Nabi saw membedakan?
Tentu pembedaan yang Nabi saw lakukan itu karena memang keduanya
berbeda.[5]
Madzhab Hanbali Juga Mengikuti
Dan ternyata, metode pembedaan antara air sedikit dan banyak (2 qulah lebih)
dalam masalah air yang kejatuhan najis itu bukan hanya punya madzhab
Al-Syafi'iyyah, akan tetapi madzhab Hanbali juga memakai ini. mereka
mengikuti apa yang dijelaskan oleh madzhab gurunya Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam Syafi'i ini.
Imam Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughni mengatakan:
وَأَمَّا
مَا دُونَ الْقُلَّتَيْنِ إذَا لاقَتْهُ النَّجَاسَةُ فَلَمْ يَتَغَيَّرْ
بِهَا , فَالْمَشْهُورُ فِي الْمَذْهَبِ أَنَّهُ يَنْجُسُ
"Sedangkan
air yang tidak mencapai 2 qulah, jika kejatuhan najis dan itu tidak
merubah salah satu sifat air tersebut, maka pendapat yang masyhur dalam
madzhab ialah air itu najis" [6]
Madzhab
ini bersama madzhab Al-Syafi'iyyah, artinya kalau air itu mencapai 2
qulah atau lebih, dan itu tidak merubah sifatnya, maka itu tidak najis.
Kesimpulan
Jadi jelas disini, bahwa madzhab Al-Syafi'iyyah sama sekali tidak mensyaratkan harus 2 qulah untuk berwudhu. Wacana 2 qulah itu hanya muncul pad permasalah air yang sudah terpakai atau juga air yang terkena najis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar