Senin, 19 Januari 2015

muzaro'ah dan mukhobaroh

PEMBAHASAN
Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah
A. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar).[1]
Muzara’ah semacam syirkah (kerja sama) di bidang pertanian untuk mengolah dan mengelola tanah. Dalam hal ini, pemilik dan pekerja membuat kesepakatan (akad) bahwa tanah milik yang pertama dan pekerjaan dilakukan oleh yang kedua, dengan hasil yang dibagi dua berdasarkan  persentase yang disepakati.[2]
Muzara’ah yaitu pembagian sawah atau ladang, seperdua, sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani (orang yang menggarap sawah).
Sedangkan Mukhabarah ialah pembagian sawah atau lading, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari yang punya sawah.[3]
Muzara’ah dan Mukhabarah memiliki makna yang berbeda, tetapi dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa Muzara’ah dan Mukhabarah ada kesamaan dan adapula perbedaanya. Persamaannya ialah muzara’ah dan mukhabarah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya  kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut mukhabarah dan bila modal dikeluarkan  dari pemilik tanah, disebut muzara’ah.
  1. Rukun-Rukunya
Menurut Hanafiyah ada 4
  1. Tanah
  2. Perbuatan pekerja
  3. Modal
  4. Alat-alat untuk menanam.[4]
  1. Dasar Hukum
 Muzara’ah adalah masyru’ (disyariatkan) berdasarkan ijma dan nash, di antaranya Imam as-Sadiq as, “muzara’ah dapat dilakukan dengan sepertiga, seperempat, seperlima…” juga ucapan beliau, “ketika menaklukkan khaibar, Rasulullah saw menyerahkannya (yakni pengelolaan tanah perkebunan khaibar) kepada mereka dengan (pembagian hasil) separuh.”
Seperti dalam hadis berikut:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَربِشَطْرٍ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرَعٍ
“Dari Ibnu Umar rahuma bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah memperkerjakan penduduk khoibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah dan tanaman.”[5]
  1. Muzara’ah Bersifat Mengikat
Penulis al-Jawahir berkata, “ Akad muzara’ah bersifat mengikat, menurut ijma’, berdasarkan kaidah luzum (kemengikatan) yang diambil dari (Qs. Maidah ayat:1)
$yg•ƒr’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Oleh karena itu, akadnya tidak akan gugur kecuali dengan taqayul (saling melepaskan diri dari akad) atau dengan persyaratan khiya, atau jika tanah sudah tidak produktif lagi. Akad muzara’ah tidak akan gugur dengan kematian salah satu dari kedua pelaku akad, sebagaimana  akad-akad lain yang bersifat mengikat. Jika pemilik tanah atau pekerja meninggal, maka ahli warisnya yang menggantikan.[6]
  1. Syarat-Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
  • Aqil dan Baligh
  • Ijab dari pemilik tanah dan qabul dari pekerja.
  • Kedua pelaku akad memiliki hak untuk melakukan secara langsung akad-akad tukar-menukar seperti ini.
  • Bagian milik masing-masing dari keduanya, yang dating dari hasil yang diperoleh, harus jelas dan musya’ antar keduanya, baik dengan bagian yang sama maupun berbeda  sesuai dengan kesepakatan.
  • Penentuan tanah atau lahan yang akan digarap.
  • Tanah harus layak dan baik untuk ditanami, meski perlu pengolahan dan perbaikan.
  • Penentuan masa berlakunya Muzara’ah dengan hari, atau bulan, atau tahun, dan harus mencukupi untuk masa tanam dan panen.
  1. F.  Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
  1. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d.Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani, tetapi tidak memiliki tanah garapan.
  1. G.  Pengertian Musaqah
Musaqah diambil dari kata al-saqaa yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.[7]
Musaqah (pengairan) adalah sejenis syirkah (kerja sama) untuk memperpleh hasil pohon, yaitu pemilik dan pekerja melakukan akad untuk itu dengan hasil yang dibagi secara musya’ (bersama-sama).
Musaqah  ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang antara keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaktu akad.
  1. Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun musaqah menurut ulama syafi’iyah ada lima berikut:
  1. Shigat
  2. Dua orang atau pihak yang berakad (al-‘aqidani)
  3. Kebun atau semua pohon yang berbuah
  4. Masa kerja, hendaknya ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan
  5. Buah, hendaknya ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan yang bekerja di kebun)
  1. I.   Disyariatkannya Musaqah
Kata “musaqah” tidak perlu digunakan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah, menggali hukum-hukumnya dari berbagai nash syariat, kemudian menggunakan istilah “Musaqah” untuk menyebut muamalah ini karena pohon sangat memerlukan air dan pengairan.
         Akad musaqah bersifat mengikat, maka masing dari kedua pihak tidak dapat memfasahkannya kecuali dengan kesepakatan pihak lain. Penulis al-jawahir berkata, “tidak ada perbedaan pendapat yang aku temukan dalam masalah ini karena akhidah dan dalil umum: aufu bil ‘uqud (penuhilah akad-akad itu)”.[8]
  1. J.  Masa berakhirnya Musaqah

Akad musaqah akan berakhir apabila :
a. Telah habis batas waktu yang telah disepakati bersama.
b. Petani penggarap tidak sanggup lagi bekerja.
c. Meninggalnya salah satu dari yang melakukan akad.
K. Hikmah Musaqah
  1. Dapat terpenuhinya kemakmuran yang merata.
  2. Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan petani penggarap).
  3. Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunnya dapat terawat dan menghasilkan.
  4. Disamping itu kesuburan tanahnya juga dapat dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Ibid. hal 153
[2] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Imam Ja’far Sadiq. Lentera. Jakarta. Hal 587
[3][3] H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Sinar baru algensindo. Bandung. Hal. 301-302
[4] Op. Cit. Prof. Dr. H. hendi Suhendi. Hal 158
[6] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Imam Ja’far Sadiq. Lentera. Jakarta. Hal 588
[7] Prof. Dr. H. hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. Raja grafindo persada. Jakarta. 2010. Hal 145
[8] Op. cit. Muhammad Jawad Mughniyah. Hal 609

muzaro'ah dan mukhobaroh

PEMBAHASAN
Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah
A. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar).[1]
Muzara’ah semacam syirkah (kerja sama) di bidang pertanian untuk mengolah dan mengelola tanah. Dalam hal ini, pemilik dan pekerja membuat kesepakatan (akad) bahwa tanah milik yang pertama dan pekerjaan dilakukan oleh yang kedua, dengan hasil yang dibagi dua berdasarkan  persentase yang disepakati.[2]
Muzara’ah yaitu pembagian sawah atau ladang, seperdua, sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani (orang yang menggarap sawah).
Sedangkan Mukhabarah ialah pembagian sawah atau lading, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari yang punya sawah.[3]
Muzara’ah dan Mukhabarah memiliki makna yang berbeda, tetapi dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa Muzara’ah dan Mukhabarah ada kesamaan dan adapula perbedaanya. Persamaannya ialah muzara’ah dan mukhabarah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya  kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut mukhabarah dan bila modal dikeluarkan  dari pemilik tanah, disebut muzara’ah.
  1. Rukun-Rukunya
Menurut Hanafiyah ada 4
  1. Tanah
  2. Perbuatan pekerja
  3. Modal
  4. Alat-alat untuk menanam.[4]
  1. Dasar Hukum
 Muzara’ah adalah masyru’ (disyariatkan) berdasarkan ijma dan nash, di antaranya Imam as-Sadiq as, “muzara’ah dapat dilakukan dengan sepertiga, seperempat, seperlima…” juga ucapan beliau, “ketika menaklukkan khaibar, Rasulullah saw menyerahkannya (yakni pengelolaan tanah perkebunan khaibar) kepada mereka dengan (pembagian hasil) separuh.”
Seperti dalam hadis berikut:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَربِشَطْرٍ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرَعٍ
“Dari Ibnu Umar rahuma bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah memperkerjakan penduduk khoibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah dan tanaman.”[5]
  1. Muzara’ah Bersifat Mengikat
Penulis al-Jawahir berkata, “ Akad muzara’ah bersifat mengikat, menurut ijma’, berdasarkan kaidah luzum (kemengikatan) yang diambil dari (Qs. Maidah ayat:1)
$yg•ƒr’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Oleh karena itu, akadnya tidak akan gugur kecuali dengan taqayul (saling melepaskan diri dari akad) atau dengan persyaratan khiya, atau jika tanah sudah tidak produktif lagi. Akad muzara’ah tidak akan gugur dengan kematian salah satu dari kedua pelaku akad, sebagaimana  akad-akad lain yang bersifat mengikat. Jika pemilik tanah atau pekerja meninggal, maka ahli warisnya yang menggantikan.[6]
  1. Syarat-Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
  • Aqil dan Baligh
  • Ijab dari pemilik tanah dan qabul dari pekerja.
  • Kedua pelaku akad memiliki hak untuk melakukan secara langsung akad-akad tukar-menukar seperti ini.
  • Bagian milik masing-masing dari keduanya, yang dating dari hasil yang diperoleh, harus jelas dan musya’ antar keduanya, baik dengan bagian yang sama maupun berbeda  sesuai dengan kesepakatan.
  • Penentuan tanah atau lahan yang akan digarap.
  • Tanah harus layak dan baik untuk ditanami, meski perlu pengolahan dan perbaikan.
  • Penentuan masa berlakunya Muzara’ah dengan hari, atau bulan, atau tahun, dan harus mencukupi untuk masa tanam dan panen.
  1. F.  Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
  1. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d.Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani, tetapi tidak memiliki tanah garapan.
  1. G.  Pengertian Musaqah
Musaqah diambil dari kata al-saqaa yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.[7]
Musaqah (pengairan) adalah sejenis syirkah (kerja sama) untuk memperpleh hasil pohon, yaitu pemilik dan pekerja melakukan akad untuk itu dengan hasil yang dibagi secara musya’ (bersama-sama).
Musaqah  ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang antara keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaktu akad.
  1. Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun musaqah menurut ulama syafi’iyah ada lima berikut:
  1. Shigat
  2. Dua orang atau pihak yang berakad (al-‘aqidani)
  3. Kebun atau semua pohon yang berbuah
  4. Masa kerja, hendaknya ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan
  5. Buah, hendaknya ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan yang bekerja di kebun)
  1. I.   Disyariatkannya Musaqah
Kata “musaqah” tidak perlu digunakan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah, menggali hukum-hukumnya dari berbagai nash syariat, kemudian menggunakan istilah “Musaqah” untuk menyebut muamalah ini karena pohon sangat memerlukan air dan pengairan.
         Akad musaqah bersifat mengikat, maka masing dari kedua pihak tidak dapat memfasahkannya kecuali dengan kesepakatan pihak lain. Penulis al-jawahir berkata, “tidak ada perbedaan pendapat yang aku temukan dalam masalah ini karena akhidah dan dalil umum: aufu bil ‘uqud (penuhilah akad-akad itu)”.[8]
  1. J.  Masa berakhirnya Musaqah

Akad musaqah akan berakhir apabila :
a. Telah habis batas waktu yang telah disepakati bersama.
b. Petani penggarap tidak sanggup lagi bekerja.
c. Meninggalnya salah satu dari yang melakukan akad.
K. Hikmah Musaqah
  1. Dapat terpenuhinya kemakmuran yang merata.
  2. Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan petani penggarap).
  3. Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunnya dapat terawat dan menghasilkan.
  4. Disamping itu kesuburan tanahnya juga dapat dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Ibid. hal 153
[2] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Imam Ja’far Sadiq. Lentera. Jakarta. Hal 587
[3][3] H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Sinar baru algensindo. Bandung. Hal. 301-302
[4] Op. Cit. Prof. Dr. H. hendi Suhendi. Hal 158
[6] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Imam Ja’far Sadiq. Lentera. Jakarta. Hal 588
[7] Prof. Dr. H. hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. Raja grafindo persada. Jakarta. 2010. Hal 145
[8] Op. cit. Muhammad Jawad Mughniyah. Hal 609

perbedaan dan persamaan haji dan 'umroh

A. Persamaan dan Perbedaan Antara Umrah dan Haji
Sekedar menyegarkan ingatan, haji dan umrah adalah dua jenis ibadah ritual yang masing-masing punya persamaan dan perbedaan.
1. Persamaan Umrah dan Haji
Di antara persamaan antara ibadah haji dan ibadah umrah adalah : 
  • Umrah dan haji sama-sama dikerjakan dalam keadaan berihram.
  • Umrah dan haji sama-sama dikerjakan dengan terlebih dahulu mengambil miqat makani, sebagaimana sudah dibahas pada bab sebelumnya.
  • Umrah dan haji sama-sama terdiri dari tawaf yang bentuknya mengelilingi Ka’bah tujuh putaran, disambung dengan sa'i tujuh kali antara Shafa dan Marwah, lalu disambung dengan bercukur atau tahallul. Boleh dibilang ibadah haji adalah ibadah umrah plus beberapa ritual ibadah lainnya.
2. Perbedaan Umrah dan Haji
Namun umrah dan haji punya perbedaan yang sangat mendasar, antara lain : 
  • Semua ritual umrah yaitu tawaf, sa'i dan bercukur, cukup hanya dilakukan di dalam masjid Al-Haram. Sedangkan ritual haji adalah terdiri dari ritual umrah ditambah dengan wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, melontar Jamarat di Mina sambil bermalam selama disana selama beberapa hari.
  • Ibadah umrah bisa dilakukan kapan saja berkali-kali dalam sehari karena durasinya cukup pendek, sedangkan ibadah haji hanya bisa dikerjakan sekali dalam setahun. Inti ibadah haji adalah wuquf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Dimana durasi ibadah haji sepanjang 5 sampai 6 hari lamanya.
Jadi karena ibadah umrah dan haji punya irisan satu dengan yang lain, atau lebih tepatnya ibadah umrah adalah bagian dari ibadah haji, maka terkadang kedua ibadah itu dilaksanakan sendiri-sendiri, dan terkadang bisa juga dilakukan bersamaan dalam satu ibadah.
Dan semua itu akan menjadi jelas kalau kita bahas satu persatu istilah Qiran, Ifrad dan Tamattu’.
B. Haji Qiran
1. Pengertian
a. Bahasa
Istilah qiran (قِرَان) kalau kita perhatikan secara bahasa (etimologi) bermakna :
جَمْعُ شَيْءٍ إِلَى شَيْءٍ
Menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Istilah qiran (قِرَان) oleh orang Arab juga digunakan untuk menyebut tali yang digunakan untuk mengikat dua ekor unta menjadi satu. Ats-Tsa’labi mengatakan :
لاَ يُقَال لِلْحَبْل قِرَانٌ حَتَّى يُقْرَنَ فِيهِ بَعِيرَانِ
Tali tidaklah disebut qiran kecuali bila tali itu mengikat dua ekor unta.
b. Istilah
Dan secara istilah haji, qiran adalah :
أَنْ يُحْرِمَ بِالْعُمْرَةِ وَالْحَجِّ جَمِيعًا
Seseorang berihram untuk umrah sekaligus juga untuk haji
Atau dengan kata lain, Haji Qiran adalah :
أَنْ يُحْرِمَ بِعُمْرَةٍ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ ثُمَّ يُدْخِل الْحَجَّ عَلَيْهَا قَبْل الطَّوَافِ
Seseorang berihram dengan umrah pada bulan-bulan haji, kemudian memasukkan haji ke dalamnya sebelum tawaf
Maka seseorang dikatakan melaksanakan haji dengan cara Qiran adalah manakala dia melakukan ibadah haji dan umrah digabung dalam satu niat dan gerakan secara bersamaan, sejak mulai dari berihram.
Sehingga ketika memulai dari miqat dan berniat untuk berihram, niatnya adalah niat berhaji dan sekaligus juga niat berumrah. Kedua ibadah yang berbeda, yaitu haji dan umrah, digabung dalam satu praktek amal. Dalam peribahasa kita sering diungkapkan dengan ungkapan, sambil menyelam minum air.
2. Dalil
Praktek menggabungkan ibadah haji dengan ibadah umrah dibenarkan oleh Rasulullah SAW berdasarkan hadits nabawi berikut ini.
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ وَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ بِالْحَجِّ فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ أَوْ جَمَعَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لَمْ يَحِلُّوا حَتَّى كَانَ يَوْمُ النَّحْرِ
'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Kami berangkat bersama Nabi SAW pada tahun hajji wada' (perpisahan). Diantara kami ada yang berihram untuk 'umrah, ada yang berihram untuk hajji dan 'umrah dan ada pula yang berihram untuk hajji. Sedangkan Rasulullah SAW berihram untuk hajji. Adapun orang yang berihram untuk hajji atau menggabungkan hajji dan 'umrah maka mereka tidak bertahallul sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul Hijjah) ". (HR. Bukhari)
Tentunya karena Qiran itu adalah umrah dan haji sekaligus, maka hanya bisa dikerjakan di dalam waktu-waktu haji, yaitu semenjak masuknya bulan Syawwal.
3. Prinsip Qiran
a. Cukup Satu Pekerjaan Untuk Dua Ibadah
Jumhur ulama termasuk di dalamnya pendapat Ibnu Umar radhiyallahuanhu, Jabir, Atha', Thawus, Mujahid, Ishak, Ibnu Rahawaih, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir, menyebutkan karena Qiran ini adalah ibadah haji sekaligus umrah, maka dalam prakteknya cukup dikerjakan satu ritual saja, tidak perlu dua kali.
Tidak perlu melakukan 2 kali ritual tawaf dan tidak perlu 2 kali melakukan ritual sa'i, juga tidak perlu 2 kali melakukan ritual bercukur. Semua cukup dilakukan satu ritual saja, dan sudah dianggap sebagai dua pekerjaan ibadah sekaligus, yaitu haji dan umrah.
Seperti itulah petunjuk langsung dari Rasulullah SAW lewat hadits Aisyah radhiyallahuanha.
وَأَمَّا الَّذِينَ جَمَعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّمَا طَافُوا طَوَافًا وَاحِدًا
Mereka yang menggabungkan antara haji dan umrah (Qiran) cukup melakukan satu kali tawaf saja. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan haji qiran itulah yang dilakukan langsung oleh Aisyah radhiyallahuanha. Dan Rasulullah SAW menegaskan untuk cukup melakukan tawaf dan sa'i sekali saja untuk haji dan umrah.
يُجْزِئُ عَنْكِ طَوَافُكِ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ عَنْ حَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ
Cukup bagimu satu kali tawaf dan sa'i antara Shawa dan Marwah untuk haji dan umrahmu. (HR. Muslim)
Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW sendiri saat berhaji, juga berhaji dengan Haji Qiran.
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُول اللَّهِ قَرَنَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَطَافَ لَهُمَا طَوَافًا وَاحِدًا
Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW menggabungkan haji dan umrah, lalu melakukan satu kali tawaf untuk haji dan umrah. (HR. Tirmizy)
Namun ada juga yang berpendapat bahwa haji dalam Qiran, semua ritual ibadah harus dikerjakan sendiri-sendiri. Yang berpendapat seperti ini antara lain Mazhab Al-Hanafiyah, serta Ats-Tsauri, Al-Hasan bin Shalih, dan Abdurrahman bin Al-Aswad.
Maka dalam pandangan mereka ritual tawaf dilakukan dua kali, pertama tawaf untuk haji lalu selesai itu kembali lagi mengerjakan tawaf untuk umrah. Demikian juga dengan sa'i dan juga bercukur, keduanya masing-masing dikerjakan dua kali dua kali, pertama untuk haji dan kedua untuk umrah.
b. Dua Niat : Umrah dan Haji
Yang harus dilakukan hanyalah berniat untuk melakukan dua ibadah sekaligus dalam satu ritual.
Kedua niat itu ditetapkan pada sesaat sebelum memulai ritual berihram di posisi masuk ke miqat makani.
4. Syarat Qiran
Agar Haji Qiran ini sah, maka ada syarat yang harus dipenuhi, antara lain :
a. Berihram Haji Sebelum Tawaf Umrah
Seorang yang berhaji dengan cara Qiran harus berihram untuk haji terlebih dahulu sebelumnya, sehingga ketika melakukan tawaf untuk umrah, ihramnya adalah ihram untuk haji dan umrah sekaligus.
b. Berihram Haji Sebelum Rusaknya Umrah
Maksudnya seorang Haji Qiran yang datang ke Mekkah dengan melakukan umrah dan berihram dengan ihram umrah, lalu dia ingin menggabungkan ihramnya itu dengan ihram haji, maka sebelum selesai umrahnya itu, dia harus sudah menggabungkannya dengan haji.
Mazhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa belum selesainya umrah adalah syarat sah buat Haji Qiran.
Mazhab Asy-Syafi’iyah menambahkan syarat bahwa ihram itu harus dilakukan setelah masuk bulan-bulan haji, yaitu setidaknya setelah bulan Syawwal.
c. Tawaf Umrah Dalam Bulan Haji
Maksudnya seorang yang Haji Qiran harus menyempurnakan tawaf umrahnya hingga sempurna tujuh putaran, yang dikerjakan di bulan-bulan haji.
e. Menjaga Umrah dan Haji dari Kerusakan
Orang yang berhaji dengan cara Qiran wajib menjaga ihram umrah dan hajinya itu dari kerusakan, hingga sampai ke hari-hari puncak haji.
Dia tidak boleh melepas pakaian ihramnya atau melakukan larangan-larangan dalam berihram. Artinya, sejak tiba di Mekkah maka dia terus menerus berihram sampai selesai semua ritual ibadah haji.
f. Bukan Penduduk Masjid Al-Haram
Dalam pandangan Mazhab Al-Hanafiyah, Haji Qiran ini tidak berlaku buat mereka yang menjadi penduduk Mekkah, atau setidaknya tinggal atau menetap disana. Haji Qiran hanya berlaku buat mereka yang tinggalnya selain di Mekkah, baik masih warga negara Saudi Arabia atau pun warga negara lainnya.
Sedangkan dalam pendapat Jumhur Ulama, penduduk Mekkah boleh saja berhaji Qiran dan hukum hajinya sah. Hanya bedanya, buat penduduk Mekkah, apabila mereka berHaji Qiran, tidak ada kewajiban untuk menyembelih hewan sebagai dam. Menyembelih hewan ini hanya berlaku buat penduduk selain Mekkah yang berHaji Qiran.
Awal mula perbedaan ini adalah ayat Al-Quran yang ditafsiri dengan berbeda oleh kedua belah pihak.
ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Yang demikian itu berlaku bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di Masjidil Haram. (QS. Al-Baqarah : 96)
Jumhur ulama mengatakan bahwa kata ’dzalika’ dalam ayat ini adalah kata tunjuk (ism isyarah), yang terkait dengan bagian dari ayat ini juga yang mengharuskan mereka untuk menyembelih hewan.
فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin bersenang-senang mengerjakan 'umrah sebelum haji, hewan korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali. (QS. Al-Baqarah : 196)
g. Tidak Boleh Terlewat Haji
Seorang yang berhaji dengan cara Qiran maka dia wajib menyelesaikan ibadah hajinya hingga tuntas, tidak boleh terlewat.
C. Haji Ifrad
Dari segi bahasa, kata Ifrad adalah bentuk mashdar dari akar kata afrada (أفرد) yang bermakna menjadikan sesuatu itu sendirian, atau memisahkan sesuatu yang bergabung menjadi sendiri-sendiri. Ifrad ini secara bahasa adalah lawan dari dari Qiran yang berarti menggabungkan.
Dalam istilah ibadah haji, Ifrad berarti memisahkan antara ritual ibadah haji dari ibadah umrah. Sehingga ibadah haji yang dikerjakan tidak ada tercampur atau bersamaan dengan ibadah umrah.
Sederhananya, orang yang berhaji dengan cara Ifrad adalah orang yang hanya mengerjakan ibadah haji saja tanpa ibadah umrah.
Kalau orang yang berHaji Ifrad ini melakukan umrah, bisa saja, tetapi setelah selesai semua rangkaian ibadah haji.
1. Tidak Perlu Denda
Haji Ifrad adalah satu-satunya bentuk berhaji yang tidak mewajibkan denda membayar dam dalam bentuk ritual menyembelih kambing. Berbeda dengan Haji Tamattu’ dan Qiran, dimana keduanya mewajibkan dam.
2. Hanya Tawaf Ifadhah
Seorang yang mengerjakan Haji Ifrad hanya melakukan satu tawaf saja, yaitu Tawaf Ifadhah. Sedangkan tawaf lainnya yaitu Tawaf Qudum dan Tawaf Wada' tidak diperlukan.
D. Haji Tamattu’
Istilah Tamattu’ berasal dari al-mata' (المتاع) yang artinya kesenangan. Dalam Al-Quran Allah berfirman :
وَلَكُمْ فِي الأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ
Dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan. (QS. Al-Baqarah : 36)
Dan kata tamattu’ artinya bersenang-senang, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran :
فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin bersenang-senang mengerjakan 'umrah sebelum haji, hewan korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali. (QS. Al-Baqarah : 196)
Dalam prakteknya, Haji Tamattu’ itu adalah berangkat ke tanah suci di dalam bulan haji, lalu berihram dari miqat dengan niat melakukan ibadah umrah, bukan haji, lalu sesampai di Mekkah, menyelesaikan ihram dan berdiam di kota Mekkah bersenang-senang, sambil menunggu datangnya hari Arafah untuk kemudian melakukan ritual haji.
Jadi Haji Tamattu’ itu memisahkan antara ritual umrah dan ritual haji.
1. Perbedaan Antara Tamattu' dan Ifrad
Lalu apa bedanya antara Tamattu’ dan Ifrad? Bukankah Haji Ifrad itu juga memisahkan haji dan umrah?
Sekilas antara Tamattu’ dan Ifrad memang agak sama, yaitu sama-sama memisahkan antara ritual haji dan umrah. Tetapi sesungguhnya keduanya amat berbeda.
Dalam Haji Tamattu’, jamaah haji melakukan umrah dan haji, hanya urutannya mengerjakan umrah dulu baru haji, dimana di antara keduanya bersenang-senang karena tidak terikat dengan aturan berihram.
Sedangkan dalam Haji Ifrad, jamaah haji melakukan ibadah haji saja, tidak mengerjakan umrah. Selesai mengerjakan ritual haji sudah bisa langsung pulang. Walau pun seandainya setelah selesai semua ritual haji lalu ingin mengisi kekosongan dengan mengerjakan ritual umrah, boleh-boleh saja, tetapi syaratnya asalkan setelah semua ritual haji selesai.
2. Kenapa Disebut Tamattu’?
Ini pertanyaan menarik, kenapa disebut dengan istilah tamattu’ atau bersenang-senang?
Jawabnya karena dalam prakteknya, dibandingkan dengan Haji Qiran dan Ifrad, Haji Tamattu’ memang ringan dikerjakan, karena itulah diistilahkan dengan bersenang-senang.
Apanya yang senang-senang?
Begini, ketika jamaah haji menjalan Haji Ifrad, maka sejak dia berihram dari miqat sampai selesai semua ritual ibadah haji, mereka tetap harus selalu dalam keadaan berihram.
Padahal berihram itu ada banyak pantangannya, kita dilarang mengerjakan semua larangan ihram. Artinya, kita tidak boleh melakukan ini dan tidak boleh itu, jumlahnya banyak sekali.
Dan khusus buat laki-laki, tentu sangat tidak nyaman dalam waktu berhari-hari bahkan bisa jadi berminggu-minggu hanya berpakaian dua lembar handuk, tanpa pakaian dalam. Dan lebih tersiksa lagi bila musim haji jatuh di musim dingin yang menusuk, maka jamaah haji harus melawan hawa dingin hanya dengan dua lembar kain sebagai pakaian.
Mungkin bila jamaah haji tiba di tanah suci pada hari-hari menjelang tanggal 9 Dzulhijjah, tidak akan terasa lama bertahan dengan kondisi berihram. Tetapi seandainya jamaah itu ikut rombongan gelombang pertama, dimana jamaah sudah sampai di Mekkah dalam jarak satu bulan dari hari Arafah, tentu sebuah penantian yang teramat lama, khususnya dalam keadaan berihram.
Maka jalan keluarnya yang paling ringan adalah melakukan Haji Tamattu’, karena selama masa menunggu itu tidak perlu berada dalam keadaan ihram. Sejak tiba di Kota Mekkah, begitu selesai tawaf, sa’i dan bercukur, sudah bisa menghentikan ihram, lepas pakaian yang hanya dua lembar handuk, boleh melakukan banyak hal termasuk melakukan hubungan suami istri.
Meski harus menunggu sampai sebulan lamanya di kota Mekkah, tentu tidak mengapa karena tidak dalam keadaan ihram. Karena itulah haji ini disebut dengan Haji Tamattu’ yang artinya bersenang-senang.
3. Denda Tamattu’
Di dalam Al-Quran Allah SWT menegaskan bahwa Haji Tamattu’ itu mewajibkan pelakunya membayar denda. Istilah yang sering digunakan adalah membayar dam. Kata dam (الدم) artinya darah, dalam hal ini maksudnya membayar denda dengan cara menyembelih seekor kambing.
Bila tidak mau atau tidak mampu, boleh diganti dengan berpuasa 10 hari, dengan rincian 3 hari dikerjakan selama berhaji dan 7 hari setelah pulang ke tanah air.
فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji, korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh yang sempurna. Demikian itu bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada Masjidil Haram. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Baqarah : 196)
E. Mana Yang Lebih Utama?
Setelah kita bahas panjang lebar tentang tiga jenis cara berhaji, yaitu Qiran, Ifrad dan Tamattu’, maka timbul pertanyaan sekarang, yaitu mana dari ketiganya yang lebih afdhal dalam pandangan ulama dan mana yang lebih utama untuk dipilih?
Ternyata ketika sampai pada pertanyaan seperti itu, para ulama masih berbeda pendapat dan tidak kompak. Masing-masing memilih pilihan yang menurut mereka lebih utama, tetapi ternyata pilihan mereka berbeda-beda.
1. Lebih Utama Ifrad
Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa yang lebih utama adalah haji dengan cara Ifrad. Pendapat mereka ini juga didukung oleh pendapat Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Al-Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Jabir bin Abdillah ridwanullahialahim ajma’in. Selain itu juga didukung oleh pendapat dari Al-Auza’i dan Abu Tsaur.
Dasarnya menurut mereka antara lain karena Haji Ifrad ini lebih berat untuk dikerjakan, maka jadinya lebih utama. Selain itu dalam pandangan mereka, haji yang Rasulullah SAW kerjakan adalah Haji Ifrad.
2. Lebih Utama Qiran
Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa yang lebih utama untuk dikerjakan adalah Haji Qiran. Pendapat ini juga didukung oleh pendapat ulama lainnya seperti Sufyan Ats-Tsauri, Al-Muzani dari kalangan ulama Mazhab Asy-Syafi’iyah, Ibnul Mundzir, dan juga Abu Ishaq Al-Marwadzi.
Dalil yang mendasari pendapat mereka adalah hadits berikut ini :
أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَال : صَل فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُل : عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ
Telah diutus kepadaku utusan dari Tuhanku pada suatu malam dan utusan itu berkata,”Shalatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan,”Umrah di dalam Haji”. (HR. Bukhari)
Hadits ini menegaskan bahwa awalnya Rasulullah SAW berhaji dengan cara Ifrad, namun setelah turun perintah ini, maka beliau diminta berbalik langkah, untuk menjadi Haji Qiran.
Dan adanya perintah untuk mengubah dari Ifrad menjadi Qiran tentu karena Qiran lebih utama, setidaknya itulah dasar argumen para pendukung pendapat ini.
3. Lebih Utama Tamattu’
Mazhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa yang paling baik dan paling utama untuk dikerjakan justru Haji Tamattu’. Setelah itu baru Haji Ifrad dan terakhir adalah Haji Qiran.
Di antara para shahabat yang diriwayatkan berpendapat bahwa Haji Tamattu’ lebih utama antara lain adalah Ibnu Umar, Ibnu Al-Abbas, Ibnu Az-Zubair, Aisyah ridhwanullahi’alaihim. Sedangkan dari kalangan para ulama berikutnya antara lain Al-Hasan, ’Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qasim, Salim, dan Ikrimah.
Pendapat ini sesungguhnya adalah satu versi dari dua versi pendapat Mazhab Asy-Syafi’iyah. Artinya, pendapat Mazhab Asy-Syafi’iyah dalam hal ini terpecah, sebagian mendukung Qiran dan sebagian mendukung Tamattu’.
Di antara dasar argumen untuk memilih Haji Tamattu’ lebih utama antara lain karena cara ini yang paling ringan dan memudahkan buat jamaah haji.
Maka timbul lagi pertanyaan menarik, kenapa untuk menetapkan mana yang lebih afdhal saja, para ulama masih berbeda pendapat? Apakah tidak ada dalil yang qath’i atau tegas tentang hal ini?
Jawabannya memang perbedaan pendapat itu dipicu oleh karena tidak ada nash yang secara langsung menyebutkan tentang mana yang lebih utama, baik dalil Al-Quran mau pun dalil As-Sunnah. Sehingga tetap saja menyisakan ruang untuk berbeda pendapat.
Dan hal itu ’diperparah’ lagi dengan kenyataan bahwa tidak ada hadits yang secara tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW berhaji dengan Ifrad, Qiran atau Tamattu’. Kalau pun ada yang bilang bahwa beliau SAW berhaji Ifrad, Qiran atau Tamattu’, sebenarnya bukan berdasarkan teks hadits itu sendiri, melainkan merupakan kesimpulan yang datang dari versi penafsiran masing-masing ulama saja. Dan tentu saja semua kesimpulan itu masih bisa diperdebatkan.
Walhasil, buat kita yang awam, sebenarnya tidak perlu ikut-ikutan perdebatan yang nyaris tidak ada manfaatnya ini, apalagi kalau diiringi dengan sikap yang kurang baik, seperti merendahkan, mencemooh, menghina bahkan saling meledek dengan dasar yang masih merupakan perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Mustahik zakat

Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) baik zakat fitrah atau zakat harta, yaitu sesuai dengan firman Allah SWT :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya : “ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-taubah : 60)
Delapan golongan yang berhak menerima zakat sesuai ayat di atas adalah :
1. Orang Fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang Miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus Zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpilkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan Budak: mancakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang yang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. Orang yang berjuang di jalan Allah (Sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufassirin ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mancakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
.
Hal–hal yang perlu diperhatikan:
1. Tidak sah memberikan zakat fitrah untuk masjid.
2. Panitia zakat fitrah yang dibentuk oleh masjid, pondok, LSM, dll (bukan BAZ) bukan termasuk amil zakat karena tidak ada lisensi dari pemerintah.
3. Fitrah yang dikeluarkan harus layak makan, tidak wajib yang terbaik tapi bukan yang jelek.
4. Istri yang mengeluarkan fitrah dari harta suami tanpa seizinnya untuk orang yang wajib dizakati, hukumnya tidak sah.
5. Orang tua tidak bisa mengeluarkan fitrah anak yang sudah baligh dan mampu kecuali dengan izin anak secara jelas.
6. Menyerahkan zakat fitrah kepada anak yang belum baligh hukumnya tidak sah (qobd-nya), karena yang meng-qobd harus orang yang sudah baligh.
7. Zakat fitrah harus dibagikan pada penduduk daerah dimana ia berada ketika terbenamnya matahari malam 1 Syawal. Apabila orang yang wajib dizakati berada di tempat yang berbeda sebaiknya diwakilkan kepada orang lain yang tinggal di sana untuk niat dan membagi fitrahnya.
8. Bagi penyalur atau panitia zakat fitrah, hendaknya berhati-hati dalam pembagian fitrah agar tidak kembali kepada orang yang mengeluarkan atau yang wajib dinafkahi, dengan cara seperti memberi tanda pada fitrah atau membagikan kepada blok lain.
9. Mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) tetap wajib fitrah sekalipun dari hasil fitrah yang didapatkan jika dikategorikan mampu.
10. Fitrah yang diberikan kepada kyai atau guru ngaji hukumnya TIDAK SAH jika bukan termasuk dari 8 golongan mustahiq.
11. Anak yang sudah baligh dan tidak mampu (secara materi) sebab belajar ilmu wajib (fardlu ‘ain atau kifayah) adalah termasuk yang wajib dinafkahi, sedangkan realita yang ada mereka libur pada saat waktu wajib zakat fitrah. Oleh karena itu, caranya harus di-tamlikkan atau dengan seizinnya sebagaimana di atas.
12. Ayah boleh meniatkan fitrah seluruh keluarga yang wajib dinafkahi sekaligus. Namun banyak terjadi kesalahan, fitrah anak yang sudah baligh dicampur dengan fitrah keluarga yang wajib dinafkahi. Yang demikian itu tidak sah untuk fitrah anak yang sudah baligh. Oleh karena itu, ayah harus memisah fitrah mereka untuk di-tamlikkan atau seizin mereka sebagaimana keterangan di atas.
13. Fitrah dengan uang tidak sah menurut madzhab Syafi’i.

Mustahik zakat

Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) baik zakat fitrah atau zakat harta, yaitu sesuai dengan firman Allah SWT :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya : “ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-taubah : 60)
Delapan golongan yang berhak menerima zakat sesuai ayat di atas adalah :
1. Orang Fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang Miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus Zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpilkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan Budak: mancakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang yang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. Orang yang berjuang di jalan Allah (Sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufassirin ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mancakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
.
Hal–hal yang perlu diperhatikan:
1. Tidak sah memberikan zakat fitrah untuk masjid.
2. Panitia zakat fitrah yang dibentuk oleh masjid, pondok, LSM, dll (bukan BAZ) bukan termasuk amil zakat karena tidak ada lisensi dari pemerintah.
3. Fitrah yang dikeluarkan harus layak makan, tidak wajib yang terbaik tapi bukan yang jelek.
4. Istri yang mengeluarkan fitrah dari harta suami tanpa seizinnya untuk orang yang wajib dizakati, hukumnya tidak sah.
5. Orang tua tidak bisa mengeluarkan fitrah anak yang sudah baligh dan mampu kecuali dengan izin anak secara jelas.
6. Menyerahkan zakat fitrah kepada anak yang belum baligh hukumnya tidak sah (qobd-nya), karena yang meng-qobd harus orang yang sudah baligh.
7. Zakat fitrah harus dibagikan pada penduduk daerah dimana ia berada ketika terbenamnya matahari malam 1 Syawal. Apabila orang yang wajib dizakati berada di tempat yang berbeda sebaiknya diwakilkan kepada orang lain yang tinggal di sana untuk niat dan membagi fitrahnya.
8. Bagi penyalur atau panitia zakat fitrah, hendaknya berhati-hati dalam pembagian fitrah agar tidak kembali kepada orang yang mengeluarkan atau yang wajib dinafkahi, dengan cara seperti memberi tanda pada fitrah atau membagikan kepada blok lain.
9. Mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) tetap wajib fitrah sekalipun dari hasil fitrah yang didapatkan jika dikategorikan mampu.
10. Fitrah yang diberikan kepada kyai atau guru ngaji hukumnya TIDAK SAH jika bukan termasuk dari 8 golongan mustahiq.
11. Anak yang sudah baligh dan tidak mampu (secara materi) sebab belajar ilmu wajib (fardlu ‘ain atau kifayah) adalah termasuk yang wajib dinafkahi, sedangkan realita yang ada mereka libur pada saat waktu wajib zakat fitrah. Oleh karena itu, caranya harus di-tamlikkan atau dengan seizinnya sebagaimana di atas.
12. Ayah boleh meniatkan fitrah seluruh keluarga yang wajib dinafkahi sekaligus. Namun banyak terjadi kesalahan, fitrah anak yang sudah baligh dicampur dengan fitrah keluarga yang wajib dinafkahi. Yang demikian itu tidak sah untuk fitrah anak yang sudah baligh. Oleh karena itu, ayah harus memisah fitrah mereka untuk di-tamlikkan atau seizin mereka sebagaimana keterangan di atas.
13. Fitrah dengan uang tidak sah menurut madzhab Syafi’i.

macam-macam zakat dan ketentuannya

A. Zakat Fitrah

Ketentuan :
1.Besarnya zakat fitrah adalah 2.5 kgAtau menurut Abu Hanifah, boleh membayarkan sesuai dengan harga makanan pokok
 
2. Orang yang wajib membayar zakat fitrah Semua muslim tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, bayi, anak-anak dan dewasa, kaya atau miskin (yang mempunyai makanan pokok lebih dari sehari)
3. Waktu mengeluarkan zakat fitrah : Boleh diberikan awal bulan Ramadhan, tetapi wajibnya zakat fitrah diberikan menjelang Sholat Idul Fitri atau tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadhan
B. Zakat Perdagangan
Ketentuan :
1.Telah mencapai haul
2.Mencapai nishab 85 gr emas
3.Besar zakat 2,5 %
4.Dapat dibayar dengan barang atau uang
5. Berlaku untuk perdagangan secara individu atau badan usaha ( CV, PT, koperasi)
6.Cara Hitung :Zakat Perdagangan = ( Modal yang diputar + keuntungan + piutang yang dapat dicairkan ) – (hutang-kerugian) x 2,5


C. Zakat Profesi
Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishab.
Menurut Yusuf Qorodhowi, sangat dianjurkan untuk menghitung zakat dari pendapatan kasar (brutto), untuk lebih menjaga kehati-hatian.
Nisab sebesar 5 wasaq / 652,8 kg gabah setara 520 kg beras. Besar zakat profesi yaitu 2,5 %. Terdapat 2 kaidah dalam menghitung zakat profesi
  1. Menghitung dari pendapatan kasar (brutto) Besar Zakat yang dikeluarkan = Pendapatan total (keseluruhan) x 2,5 %
  2. Menghitung dari pendapatan bersih (netto) 1. Pendapatan wajib zakat=Pendapatan total - Pengeluaran perbulan* 2. Besar zakat yang harus dibayarkan=Pendapatan wajib zakat x 2,5 %
Keterangan : * Pengeluaran per bulan adalah pengeluaran kebutuhan primer (sandang, pangan, papan ) * Pengeluaran perbulan termasuk : Pengeluaran diri , istri, 3 anak, orang tua dan Cicilan Rumah. Bila dia seorang istri, maka kebutuhan diri, 3 anak dan cicilan Rumah tidak termasuk dalam pengeluaran perbulan.


D. Zakat Emas dan Perak
Zakat Emas Ketentuan :
1.Mencapai haul
2.Mencapai nishab, 85 gr emas murni 
3.Besar zakat 2,5 %
Cara Menghitung :
1. Jika seluruh emas/perak yang dimiliki, tidak dipakai atau dipakainya hanya setahun sekali Zakat emas/perak = emas yang dimiliki x harga emas x 2,5 % 
2. Jika emas yang dimiliki ada yang dipakai Zakat = (emas yang dimiliki - emas yang dipakai) x harga emas x 2,5 %

Zakat Perak Ketentuan :
1. Mencapai haul 
2. Mencapai nishab 595 gr perak 
3. Besar zakat 2,5 %

Cara Menghitung :
  1. Jika seluruh perak yang dimiliki, tidak dipakai atau dipakainya hanya setahun sekali Zakat = perak yang dimiliki x harga perak x 2,5 %
  2. Jika emas yang dimiliki ada yang dipakai Zakat = (perak yang dimiliki - perak yang dipakai) x harga emas x 2,5 %

E. Zakat Tabungan
Uang simpanan dikenakan zakat dari jumlah saldo akhir bila telah mencapai haul. Besarnya nisab senilai 85 gr emas. Besar zakat yang harus dikeluarkan 2,5 %

1.Zakat simpanan Tabungan Saldo akhir : saldo akhir - Bagi hasil/bunga Besarnya zakat : 2,5 % x saldo akhir 

2.Zakat Simpanan Deposito Penghitungan sama dengan zakat simpanan Tabungan.

F. Zakat Hadiah

2.Jika komisi, terdiri dari 2 bentuk : Pertama, jika komisi dari hasil prosentasi keuntungan perusahaan kepada pegawai, maka zakat yang dikeluarkan sebesar 10%. Kedua, jika komisi dari hasil profesi misalnya makelar, maka zakatnya seperti zakat profesi. 

3.Jika hibah : Pertama, jika sumber hibah tidak diduga - duga maka zakat yang dikeluarkan sebesar 20%. Kedua, jika sumber hibah sudah diduga dan diharapkan, maka hibah tersebut digabungkan dengan kekayaan yang ada, zakat yang dikeluarkan sebesar 2.5%.

G. Zakat Hasil Pertanian

Nishab
Nishab hasil pertanian adalah 5 wasaq atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma, dll, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut. (pendapat lain menyatakan 815 kg untuk beras dan 1481 kg untuk yang masih dalam bentuk gabah).
Tetapi jika hasil pertanian itu bukan merupakan makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga, dll, maka nisabnya disetarakan dengan harga nisab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita = beras/sagu/jagung).

Kadar
Besar zakat untuk hasil pertanian, apabila diairi dengan air hujan, atau sungai/mata/air, maka 10%, apabila diairi dengan cara disiram / irigasi (ada biaya tambahan) maka zakatnya 5%.
Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa pada tanaman yang disirami zakatnya 5%. Artinya 5% yang lainnya didistribusikan untuk biaya pengairan. Imam Az Zarqoni berpendapat bahwa apabila pengolahan lahan pertanian diairidengan air hujan (sungai) dan disirami (irigasi) dengan perbandingan 50;50, maka kadar zakatnya 7,5% (3/4 dari 1/10).
Pada sistem pertanian saat ini, biaya tidak sekedar air, akan tetapi ada biaya lain seperti pupuk, insektisida, dll. Maka untuk mempermudah perhitungan zakatnya, biaya pupuk, intektisida dan sebagainya diambil dari hasil panen, kemudian sisanya (apabila lebih dari nishab) dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% (tergantung sistem pengairannya)

H. Zakat Hasil Peternakan



Zakat Hasil Ternak (salah satu jenis Zakat Maal) meliputi hasil dari peternakan hewan baik besar (sapi,unta) sedang (kambing,domba) dan kecil (unggas, dll). Perhitungan zakat untuk masing-masing tipe hewan ternak, baik nisab maupun kadarnya berbeda-beda dan sifatnya bertingkat. Sedangkan haulnya yakni satu tahun untuk tiap hewan.


I. Zakat Barang Temuan (Rikaz)

Zakat Barang Temuan (Rikaz) wajib dikeluarkan untuk barang yang ditemukan terpendam di dalam tanah, atau yang biasa disebut dengan harta karun. Zakat barang temuan tidak mensyaratkan baik haul (lama penyimpanan) maupun nisab (jumlah minimal untuk terkena kewajiban zakat), sementara kadar zakatnya adalah sebesar seperlima atau 20% dari jumlah harta yang ditemukan. Jadi setiap mendapatkan harta temuan berapapun besarnya, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar seperlima dari besar total harta tersebut. Hadits yang mendasari kewajiban mengeluarkan zakat ini adalah
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: " .. dan pada rikaz (diwajibkan zakatnya) satu perlima. " (Hadith Sahih - Riwayat Bukhari)

macam-macam zakat dan ketentuannya

A. Zakat Fitrah

Ketentuan :
1.Besarnya zakat fitrah adalah 2.5 kgAtau menurut Abu Hanifah, boleh membayarkan sesuai dengan harga makanan pokok
 
2. Orang yang wajib membayar zakat fitrah Semua muslim tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, bayi, anak-anak dan dewasa, kaya atau miskin (yang mempunyai makanan pokok lebih dari sehari)
3. Waktu mengeluarkan zakat fitrah : Boleh diberikan awal bulan Ramadhan, tetapi wajibnya zakat fitrah diberikan menjelang Sholat Idul Fitri atau tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadhan
B. Zakat Perdagangan
Ketentuan :
1.Telah mencapai haul
2.Mencapai nishab 85 gr emas
3.Besar zakat 2,5 %
4.Dapat dibayar dengan barang atau uang
5. Berlaku untuk perdagangan secara individu atau badan usaha ( CV, PT, koperasi)
6.Cara Hitung :Zakat Perdagangan = ( Modal yang diputar + keuntungan + piutang yang dapat dicairkan ) – (hutang-kerugian) x 2,5


C. Zakat Profesi
Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishab.
Menurut Yusuf Qorodhowi, sangat dianjurkan untuk menghitung zakat dari pendapatan kasar (brutto), untuk lebih menjaga kehati-hatian.
Nisab sebesar 5 wasaq / 652,8 kg gabah setara 520 kg beras. Besar zakat profesi yaitu 2,5 %. Terdapat 2 kaidah dalam menghitung zakat profesi
  1. Menghitung dari pendapatan kasar (brutto) Besar Zakat yang dikeluarkan = Pendapatan total (keseluruhan) x 2,5 %
  2. Menghitung dari pendapatan bersih (netto) 1. Pendapatan wajib zakat=Pendapatan total - Pengeluaran perbulan* 2. Besar zakat yang harus dibayarkan=Pendapatan wajib zakat x 2,5 %
Keterangan : * Pengeluaran per bulan adalah pengeluaran kebutuhan primer (sandang, pangan, papan ) * Pengeluaran perbulan termasuk : Pengeluaran diri , istri, 3 anak, orang tua dan Cicilan Rumah. Bila dia seorang istri, maka kebutuhan diri, 3 anak dan cicilan Rumah tidak termasuk dalam pengeluaran perbulan.


D. Zakat Emas dan Perak
Zakat Emas Ketentuan :
1.Mencapai haul
2.Mencapai nishab, 85 gr emas murni 
3.Besar zakat 2,5 %
Cara Menghitung :
1. Jika seluruh emas/perak yang dimiliki, tidak dipakai atau dipakainya hanya setahun sekali Zakat emas/perak = emas yang dimiliki x harga emas x 2,5 % 
2. Jika emas yang dimiliki ada yang dipakai Zakat = (emas yang dimiliki - emas yang dipakai) x harga emas x 2,5 %

Zakat Perak Ketentuan :
1. Mencapai haul 
2. Mencapai nishab 595 gr perak 
3. Besar zakat 2,5 %

Cara Menghitung :
  1. Jika seluruh perak yang dimiliki, tidak dipakai atau dipakainya hanya setahun sekali Zakat = perak yang dimiliki x harga perak x 2,5 %
  2. Jika emas yang dimiliki ada yang dipakai Zakat = (perak yang dimiliki - perak yang dipakai) x harga emas x 2,5 %

E. Zakat Tabungan
Uang simpanan dikenakan zakat dari jumlah saldo akhir bila telah mencapai haul. Besarnya nisab senilai 85 gr emas. Besar zakat yang harus dikeluarkan 2,5 %

1.Zakat simpanan Tabungan Saldo akhir : saldo akhir - Bagi hasil/bunga Besarnya zakat : 2,5 % x saldo akhir 

2.Zakat Simpanan Deposito Penghitungan sama dengan zakat simpanan Tabungan.

F. Zakat Hadiah

2.Jika komisi, terdiri dari 2 bentuk : Pertama, jika komisi dari hasil prosentasi keuntungan perusahaan kepada pegawai, maka zakat yang dikeluarkan sebesar 10%. Kedua, jika komisi dari hasil profesi misalnya makelar, maka zakatnya seperti zakat profesi. 

3.Jika hibah : Pertama, jika sumber hibah tidak diduga - duga maka zakat yang dikeluarkan sebesar 20%. Kedua, jika sumber hibah sudah diduga dan diharapkan, maka hibah tersebut digabungkan dengan kekayaan yang ada, zakat yang dikeluarkan sebesar 2.5%.

G. Zakat Hasil Pertanian

Nishab
Nishab hasil pertanian adalah 5 wasaq atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma, dll, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut. (pendapat lain menyatakan 815 kg untuk beras dan 1481 kg untuk yang masih dalam bentuk gabah).
Tetapi jika hasil pertanian itu bukan merupakan makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga, dll, maka nisabnya disetarakan dengan harga nisab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita = beras/sagu/jagung).

Kadar
Besar zakat untuk hasil pertanian, apabila diairi dengan air hujan, atau sungai/mata/air, maka 10%, apabila diairi dengan cara disiram / irigasi (ada biaya tambahan) maka zakatnya 5%.
Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa pada tanaman yang disirami zakatnya 5%. Artinya 5% yang lainnya didistribusikan untuk biaya pengairan. Imam Az Zarqoni berpendapat bahwa apabila pengolahan lahan pertanian diairidengan air hujan (sungai) dan disirami (irigasi) dengan perbandingan 50;50, maka kadar zakatnya 7,5% (3/4 dari 1/10).
Pada sistem pertanian saat ini, biaya tidak sekedar air, akan tetapi ada biaya lain seperti pupuk, insektisida, dll. Maka untuk mempermudah perhitungan zakatnya, biaya pupuk, intektisida dan sebagainya diambil dari hasil panen, kemudian sisanya (apabila lebih dari nishab) dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% (tergantung sistem pengairannya)

H. Zakat Hasil Peternakan



Zakat Hasil Ternak (salah satu jenis Zakat Maal) meliputi hasil dari peternakan hewan baik besar (sapi,unta) sedang (kambing,domba) dan kecil (unggas, dll). Perhitungan zakat untuk masing-masing tipe hewan ternak, baik nisab maupun kadarnya berbeda-beda dan sifatnya bertingkat. Sedangkan haulnya yakni satu tahun untuk tiap hewan.


I. Zakat Barang Temuan (Rikaz)

Zakat Barang Temuan (Rikaz) wajib dikeluarkan untuk barang yang ditemukan terpendam di dalam tanah, atau yang biasa disebut dengan harta karun. Zakat barang temuan tidak mensyaratkan baik haul (lama penyimpanan) maupun nisab (jumlah minimal untuk terkena kewajiban zakat), sementara kadar zakatnya adalah sebesar seperlima atau 20% dari jumlah harta yang ditemukan. Jadi setiap mendapatkan harta temuan berapapun besarnya, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar seperlima dari besar total harta tersebut. Hadits yang mendasari kewajiban mengeluarkan zakat ini adalah
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: " .. dan pada rikaz (diwajibkan zakatnya) satu perlima. " (Hadith Sahih - Riwayat Bukhari)

berwudhu dengan air 2 qulah

Syarat wajib wudhu itu bukan adanya air yang mencapai 2 qulah, sama sekali bukan itu. Yang mnejadi syarat wajib wudhu itu ialah adanya air mutlak yang cukup untuk membasuh anggota tubuh yang termasuk dalam rukun wudhu;
[1] muka,
[2] tangan sampai siku,
[3] sebagian kepala, dan
[4] kaki sampai mata kaki. [1] 
Dan ini juga yang menjadi patokan boleh tidaknya tayammum. Kalau memang ada air yang cukup untuk membasuh anggota tubuh rukun wudhu itu semua, maka tidak ada alasan untuk tayammum. Tayammum hanya boleh jika memang tidak ada air yang cukup untuk membasuh anggota rukun wudhu itu.
Nah, lalu dimana 2 qulah itu dibicarakan?
Sebagai pengingat, bahwa air 2 qulah itu dalam kitab-kitab Al-Syafi'iyyah sering diterjemahkan ukurannya menjadi 5 liter air menurut takaran orang Baghdad. Namun ulama komtemporer menyimpulkan, takaran sekarang, air 2 qulah itu ialah 270 liter.
Dalam madzhab Al-Syafi'iyyah, 2 qulah itu menjadi pembicaraan dalam masalah air musta'mal (yang telah terpakai untuk bersuci), dan juga air mutanajis (yang kejatuhan najis). Dalam 2 masalah inilah, 2 qulah itu menjadi wacana yang penting.
2 Qulah dan Air Musta'mal
Air musta'mal, dalam madzhab Al-Syafi'iyyah yaitu air yang telah dipakai untuk bersuci yang sifatnya wajib, seperti wudhu atau mandi janabah. Bukan bersuci yang sifatnya sunnah, seperti Tajdiid wudhu (memperbaharui wudhu), atau juga mandi yang bukan mandi janabah.[2]
Nah, air yang sudah terpakai itu memang statusnya suci, namun tidak bisa mensucikan, dalam bahasa kitab ialah Thaahir gheir muthohhir [طاهر غير مطهر] (suci tapi tidak bisa mensucikan). Air ini bisa berubah statusnya menjadi muthohhir (bisa mensucikan) jika air ini dikumpulkan dan mencapai 2 qulah atau lebih.
Maka, jika air yang telah terpakai itu dikumpulkan dan mnecapai batasan 2qulah atau bahkan lebih, statusnya bukan lagi disebut musta'mal, akan tetapi berubah menjadi air mutlak yang bisa digunakan untuk bersuci.
Imam Al-Syirbini, salah satu ulama Syafi'iyyah mengatakan, bahwa alasan kenapa air musta'mal itu tidak bisa mensucikan karena memang dulu juga para sahabat, dengan keadaan mereka yang minim air tidak mengumpulkan air-air yang telah dipakai untuk wudhu atau bersuci untuk dipakai lagi kedua kalinya, akan tetapi mereka malah langsung pindah ke tayammum. Karena mereka tidak mungkin bersuci dengan air yang sudah tercampur dengan hadats.[3]
Lalu kenapa setelah mencapai 2 qulah air itu boleh digunakan? Karena air yang telah mencapau 2 qulah sudah terbebas dari najis, karena banyaknya volume air tersebut. Nabi saw bersabda:
إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ - وَفِي لَفْظٍ: - لَمْ يَنْجُسْ
"kalau air itu mencapai 2 qulah, maka ia tidak membawa najis –dalam riwayat lain- tidak najis" (HR. Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah dan An-Nasa'i)
2 qulah dan Air Mutanajis
Kemudian masalah air yang terkena najis, ini juga pembahasannya sama seperti apa yang telah disinggung pada pembahasan air musta'mal, hanya berbeda dalam beberapa poin.
Semua ulama sejagad raya ini sepakat, jika ada air yang kejatuhan najis, kemudian, air itu berubah salah satu dari 3 sifatnya; warna, bau dan rasa, maka air it air najis, sedikit atau banyak air tersebut, dan tentu saja tidak bisa dipakai untuk bersuci.
اَلْمَاءُ طَاهِرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ, أَوْ طَعْمُهُ, أَوْ لَوْنُهُ; بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ
"air itu suci, kecuali jika berubah (salah satu sifatnya) baunya, rasanya, atau warnanya" (HR. Al-Baihaqi)     
Namun ulama berbeda pendapat apabila air yang kejatuhan najis tidak berubah sama sekali, tidak warnanya, tidak baunya dan tidak juga rasanya. Nah, pada masalah ini madzhab Al-Syafi'iyyah membedakan antara air sedikit dan air banyak. Air sedikit itu ialah air yang kurang dari 2 qula, dan air yang banyak itu ialah air yang telah mencapai 2 qulah atau lebih.
Dalam madzhab ini, kalau air yang kejatuhan najis itu tidak berubah sifatnya, maka dilihat apakah itu air banyak atau sedikit. Kalau itu air sedikit maka berubah atau tidak berubah sifatnya, kalau kejatuhan najis ya hukumnya ikut menjadi najis. Dan tentu daja yang najis tidak bisa dipakai untuk bersuci.
Berbeda dengan air yang banyak, yaitu yang mencapai 2 qulah atau lebih. Air yang seperti ini kalau kejatuhan najis, dan najis itu tidak merubah sifat air tersebut, maka air ini tetap suci dan boleh digunakan untuk bersuci.[4] Dalilnya sama seperti yang di atas:
إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ - وَفِي لَفْظٍ: - لَمْ يَنْجُسْ
"kalau air itu mencapai 2 qulah, maka ia tidak membawa najis –dalam riwayat lain- tidak najis" (HR. Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah dan An-Nasa'i)
   
Imam Nawawi dalam Al-Majmu' mengatakan bahwa hadits menjadi dalil kalau memang air yang mencapai 2 qulah itu tidak mengandung najis, karena kalau memang air yang sedikit (kurang dari 2 qulah) dan air banyak (yang mencapai 2 qulah / lebih) itu sama saja hukumnya, lalu untuk apa Nabi saw membedakan? Tentu pembedaan yang Nabi saw lakukan itu karena memang keduanya berbeda.[5]
Madzhab Hanbali Juga Mengikuti
Dan ternyata, metode pembedaan antara air sedikit dan banyak (2 qulah lebih) dalam masalah air yang kejatuhan najis itu bukan hanya punya madzhab Al-Syafi'iyyah, akan tetapi madzhab Hanbali juga memakai ini. mereka mengikuti apa yang dijelaskan oleh madzhab gurunya Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi'i ini.
Imam Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughni mengatakan:
وَأَمَّا مَا دُونَ الْقُلَّتَيْنِ إذَا لاقَتْهُ النَّجَاسَةُ فَلَمْ يَتَغَيَّرْ بِهَا , فَالْمَشْهُورُ فِي الْمَذْهَبِ أَنَّهُ يَنْجُسُ
"Sedangkan air yang tidak mencapai 2 qulah, jika kejatuhan najis dan itu tidak merubah salah satu sifat air tersebut, maka pendapat yang masyhur dalam madzhab ialah air itu najis"  [6]
Madzhab ini bersama madzhab Al-Syafi'iyyah, artinya kalau air itu mencapai 2 qulah atau lebih, dan itu tidak merubah sifatnya, maka itu tidak najis.
Kesimpulan
Jadi jelas disini, bahwa madzhab Al-Syafi'iyyah sama sekali tidak mensyaratkan harus 2 qulah untuk berwudhu. Wacana 2 qulah itu hanya muncul pad permasalah air yang sudah terpakai atau juga air yang terkena najis.