Teori
belajar behavioristik
adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
[1].
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik
pendidikan
dan pembelajaran
yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan
orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu
dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku
akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Belajar merupakan akibat
adanya interaksi
antara stimulus
dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh
guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting
untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang
dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan
oleh guru
(stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati
dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu
hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula
bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga
semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik,
meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary
Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5)
Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage,
Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya
adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie,
dan Skinner.
Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis
serta peranannya dalam pembelajaran.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme
(Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut
Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell,
Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat
memperkuat respon
Teori Gestalt
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Penggunaan pola warna dan arah panah membuat otak mengelompokkan lingkaran
kuning terpisah dari lingkaran biru, walaupun sebenarnya memiliki bentuk
identik
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi
melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang
memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt
beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung berupaya
mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil.
Sejarah :
Teori ini dibangun oleh tiga orang, Kurt
Koffka, Max Wertheimer, and Wolfgang Köhler. Mereka menyimpulkan bahwa
seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai
kesatuan yang utuh.
Penggunaan :
Teori
gestalt banyak dipakai dalam proses desain dan cabang seni rupa
lainnya, karena banyak menjelaskan bagaimana persepsi visual bisa terbentuk.
Persepsi jenis ini bisa terbentuk karena:
- Kedekatan posisi (proximity)
- Kesamaan bentuk (similiarity)
- Penutupan bentuk
- Kesinambungan pola (continuity)
- Kesamaan arah gerak (common fate)
Faktor
inilah yang menyebabkan kita sering bisa merasakan keteraturan dari pola-pola yang
sebenarnya acak. Misalnya saat seseorang melihat awan, dia dengan mudah bisa
menemukan bentuk muka seseorang. Hal ini disebut pragnan.
Teori Belajar Psikologi Daya
menurut teori ini, sesorang
belajar didasari oleh kesiapan mental yang terdiri dari jumlah daya (kekutan)
yang dimana satu lain terpisah, seperti ; daya mengamati, mengingat,
menanggapi, menhayal, dan berpikir yang kesemuaannya membutuhkan latihan.
Terori ini memandang bahwa belajar pada bahan ajar telah mempunyai nilai dan nilai tersebut terletak pada formalnya, bukan pada materinya.
Artinya, apapun materi ajar yang dipelajari seseorang tidaklah penting, melainkan yang penting adalah pengaruhnya dalam membentuk daya-daya tertentu.
Teori ini juga didasarkan pada suatu konsep bahwa manusia merupakan suatu sistem energi yang dinamis meliputi respon terhadpa rangsangan, dorongan, dan proses penalaran untuk memelihara kesimbangan dalam merespon sistem-sistem energi lain, sehingga pembelajran dapat berinteraksi melalui organ rasa.
Merujuk pada teori ini, juga mendasar adanya tingkah laku (behaviorisme) manusia merupakan tanggapan (respon) terhadap (stimulan) yang disebabkan oleh sesuatu yang dilihatnya. Jadi, terjadinya tingah laku disebabkan oleh sesuatu yang lain. dengan demikian munculah dua aliran;
Terori ini memandang bahwa belajar pada bahan ajar telah mempunyai nilai dan nilai tersebut terletak pada formalnya, bukan pada materinya.
Artinya, apapun materi ajar yang dipelajari seseorang tidaklah penting, melainkan yang penting adalah pengaruhnya dalam membentuk daya-daya tertentu.
Teori ini juga didasarkan pada suatu konsep bahwa manusia merupakan suatu sistem energi yang dinamis meliputi respon terhadpa rangsangan, dorongan, dan proses penalaran untuk memelihara kesimbangan dalam merespon sistem-sistem energi lain, sehingga pembelajran dapat berinteraksi melalui organ rasa.
Merujuk pada teori ini, juga mendasar adanya tingkah laku (behaviorisme) manusia merupakan tanggapan (respon) terhadap (stimulan) yang disebabkan oleh sesuatu yang dilihatnya. Jadi, terjadinya tingah laku disebabkan oleh sesuatu yang lain. dengan demikian munculah dua aliran;
- Koneksinoisme atau asosianisme, yaitu terjadinya tingkah laku manusia karena respon yang disebabkan oleh stimulan lain dimana satu dengan lainya saling berhubungan.
- Konotivisme, yakni terjadinya tingkah laku manusia karena manusia karena kemampuan manusia untuk mengetahui dan membuat hubungan antara komponen yang diketahuinya. kemampuan mengetahui (kognitif) inilah menjadi respon seseorang terhadap sitimulan semakin kuat.
untuk lebih jelasnya baca buku dibawah ini kalau perlu di
beli...heheheh..promosi ni jadinya, saya sudah miliki loe...bukunya tidak
terlalu mahal ko, dibawah 50.000, buku tukan merupakan aset..? ceh..
Sumber : Thoifuri. 2008. Menjadi Guru Inisiator.Semarang : Rasil Media Group
Sumber : Thoifuri. 2008. Menjadi Guru Inisiator.Semarang : Rasil Media Group
Teori
Perkembangan Kognitif
dikembangkan
oleh Jean
Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan
banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap
perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk
secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam
representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya
dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi
lingkungannya— dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh
cara baru dalam merepresentasikan informasi
secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme,
yang berarti, tidak seperti teori nativisme
(yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan
kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan
kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan
sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh
Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami
dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin
canggih seiring pertambahan usia:
- Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
- Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
- Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
- Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Teori kepribadian
Definisi kepribadian menurut psikologi
Berdasarkan psikologi, Gordon
Allport menyatakan bahwa kepribadian sebagai suatu organisasi (berbagai
aspek psikis dan fisik) yang merupakan suatu struktur dan sekaligus proses.
Jadi, kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah. Secara eksplisit
Allport menyebutkan, kepribadian secara teratur tumbuh dan mengalami perubahan.
Ciri-ciri kepribadian
Para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam
memberikan rumusan tentang kepribadian. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang
dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005)
menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat
dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang
kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian
adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang
menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider
(1964) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik
yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi
kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan
konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut
dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa
kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan
individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur
psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi
kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga
menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu,
terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal,
diantaranya : teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik dari
Carl Gustav Jung, teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan
Sullivan, teori Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori
Psikologi Individual dari Allport, teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull,
Watson, teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin
Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di
dalamnya mencakup :
- Karakter yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
- Temperamen yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
- Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
- Stabilitas emosi yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa
- Responsibilitas (tanggung jawab) adalah kesiapan untuk menerima risiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari risiko yang dihadapi.
- Sosiabilitas yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti : sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Setiap individu memiliki ciri-ciri kepribadian
tersendiri, mulai dari yang menunjukkan kepribadian yang sehat atau justru yang
tidak sehat. Dalam hal ini, Elizabeth (Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan
ciri-ciri kepribadian yang sehat dan tidak sehat, sebagai berikut :
Kepribadian yang sehat
- Mampu menilai diri sendiri secara realisitik; mampu menilai diri apa adanya tentang kelebihan dan kekurangannya, secara fisik, pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.
- Mampu menilai situasi secara realistik; dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerima secara wajar, tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai sesuatu yang sempurna.
- Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik; dapat menilai keberhasilan yang diperolehnya dan meraksinya secara rasional, tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami superiority complex, apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan hidup. Jika mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi dengan sikap optimistik.
- Menerima tanggung jawab; dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.
- Kemandirian; memiliki sifat mandiri dalam cara berfikir, dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
- Dapat mengontrol emosi; merasa nyaman dengan emosinya, dapat menghadapi situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau konstruktif , tidak destruktif (merusak)
- Berorientasi tujuan; dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar, dan berupaya mencapai tujuan dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan), pengetahuan dan keterampilan.
- Berorientasi keluar (ekstrovert); bersifat respek, empati terhadap orang lain, memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan mengorbankan orang lain, karena kekecewaan dirinya.
- Penerimaan sosial; mau berpartsipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.
- Memiliki filsafat hidup; mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.
- Berbahagia; situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan, yang didukung oleh faktor-faktor achievement (prestasi), acceptance (penerimaan), dan affection (kasih sayang).
Kepribadian yang tidak sehat
- Mudah marah (tersinggung)
- Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan
- Sering merasa tertekan (stress atau depresi)
- Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang usianya lebih muda atau terhadap binatang
- Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun sudah diperingati atau dihukum
- Kebiasaan berbohong
- Hiperaktif
- Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
- Senang mengkritik/mencemooh orang lain
- Sulit tidur
- Kurang memiliki rasa tanggung jawab
- Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan faktor yang bersifat organis)
- Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama
- Pesimis dalam menghadapi kehidupan
- Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan
Faktor-faktor penentu kepribadian
Faktor keturunan
Keturunan merujuk pada faktor genetika
seorang individu.[1]
Tinggi fisik, bentuk wajah,
gender, temperamen,
komposisi otot dan
refleks, tingkat energi
dan irama biologis
adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara
substansial, dipengaruhi oleh siapa orang tua
dari individu tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis,
dan psikologis bawaan dari individu.[1]
Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian seseorang.[1] Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen anak-anak. [1] Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir.[1] Dasar ketiga meneliti konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi.[1]
Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh dari faktor keturunan.[2] Bukti menunjukkan bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif dapat dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan.[2] Temuan ini mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin dihasilkan dari kode genetis sama yang memperanguhi faktor-faktor seperti tinggi badan dan warna rambut.[2]
Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian seseorang.[1] Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen anak-anak. [1] Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir.[1] Dasar ketiga meneliti konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi.[1]
Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh dari faktor keturunan.[2] Bukti menunjukkan bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif dapat dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan.[2] Temuan ini mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin dihasilkan dari kode genetis sama yang memperanguhi faktor-faktor seperti tinggi badan dan warna rambut.[2]
Para peneliti telah mempelajari lebih dari 100
pasangan kembar identik yang dipisahkan sejak lahir dan dibesarkan secara
terpisah.[3]
Ternyata peneliti menemukan kesamaan untuk hampir setiap ciri perilaku, ini
menandakan bahwa bagian variasi yang signifikan di antara anak-anak kembar
ternyata terkait dengan faktor genetis.[1]
Penelitian ini juga memberi kesan bahwa lingkungan
pengasuhan tidak begitu memengaruhi perkembangan kepribadian atau dengan kata
lain, kepribadian dari seorang kembar identik yang dibesarkan di keluarga yang
berbeda ternyata lebih mirip dengan pasangan kembarnya dibandingkan kepribadian
seorang kembar identik dengan saudara-saudara kandungnya yang dibesarkan bersama-sama.[1]
Faktor lingkungan
Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar
terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan
di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok
sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami.[1]
Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian seseorang.[1]
Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya
dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya waktu sehingga ideologi yang
secara intens berakar di suatu kultur mungkin hanya memiliki sedikit pengaruh
pada kultur yang
lain.[1]
Misalnya, orang-orang Amerika Utara memiliki semangat ketekunan, keberhasilan,
kompetisi, kebebasan, dan etika kerja Protestan
yang terus tertanam dalam diri mereka melalui buku, sistem sekolah,
keluarga, dan teman,
sehingga orang-orang tersebut cenderung ambisius dan agresif bila dibandingkan
dengan individu yang dibesarkan dalam budaya yang
menekankan hidup bersama individu lain, kerja sama,
serta memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan dan karier.[1]
Sifat-sifat kepribadian
Berbagai penelitian awal mengenai struktur
kepribadian berkisar di seputar upaya untuk mengidentifikasikan dan menamai
karakteristik permanen yang menjelaskan perilaku individu
seseorang.[1]
Karakteristik yang umumnya melekat dalam diri seorang individu adalah malu, agresif, patuh,
malas, ambisius, setia, dan takut.[4]
Karakteristik-karakteristik tersebut jika ditunjukkan dalam berbagai situasi,
disebut sifat-sifat kepribadian.[4]
Sifat kepribadian menjadi suatu hal yang mendapat perhatian cukup besar karena
para peneliti telah lama meyakini bahwa sifat-sifat kepribadian dapat membantu
proses seleksi karyawan,
menyesuaikan bidang pekerjaan dengan individu, dan memandu keputusan
pengembangan karier.[4]
Cara identifikasi kepribadian
Terdapat sejumlah upaya awal untuk
mengidentifikasi sifat-sifat utama yang mengatur perilaku.[5]
Seringnya, upaya ini sekadar menghasilkan daftar panjang sifat yang sulit untuk
digeneralisasikan dan hanya memberikan sedikit bimbingan praktis bagi para
pembuat keputusan organisasional.[5]
Dua pengecualian adalah Myers-Briggs Type Indicator dan Model Lima Besar.[5]
Selama 20 tahun hingga saat ini, dua pendekatan ini telah menjadi kerangka
kerja yang dominan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan sifat-sifat seseorang.[5]
Myers-Briggs Type Indicator
Myers-Briggs Type Indicator (MBTI)[6]
adalah tes kepribadian menggunakan empat karakteristik dan mengklasifikasikan
individu ke dalam salah satu dari 16 tipe kepribadian. Berdasarkan jawaban yang
diberikan dalam tes tersebut, individu diklasifikasikan ke dalam karakteristik
ekstraver atau introver, [sensitif]] atau intuitif, pemikir atau perasa, dan
memahami atau menilai[5].
Instrumen ini adalah instrumen penilai kepribadian yang paling sering digunakan.[7]
MBTI telah dipraktikkan secara luas di perusahaan-perusahaan global seperti Apple Computers,
AT&T, Citgroup, GE, 3M Co., dan berbagai rumah sakit, institusi pendidikan,
dan angkatan bersenjata AS.[7]
Model Lima Besar
Myers-Briggs Type Indicator kurang memiliki bukti
pendukung yang valid, tetapi hal tersebut tidak berlaku pada model lima faktor
kepribadian -yang biasanya disebut Model Lima Besar.[5]
Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah besar penelitian mendukung bahwa lima
dimensi dasar saling mendasari dan mencakup sebagian besar variasi yang
signifikan dalam kepribadian manusia.[8]
Faktor-faktor lima besar mencakup ekstraversi, mudah akur dan bersepakat, sifat
berhati-hati, stabilitas emosi, dan terbuka terhadap hal-hal baru.[8]
Menilai kepribadian
Sepuluh kartu yang digunakan
dalam Rorschach Inkblot test.
Alasan paling penting mengapa manajer perlu
mengetahui cara menilai kepribadian adalah karena penelitian menunjukkan bahwa
tes-tes kepribadian sangat berguna dalam membuat keputusan perekrutan.[1]
Nilai dalam tes kepribadian membantu manajer meramalkan calon terbaik untuk
suatu pekerjaan.[1]
Terdapat tiga cara utama untuk menilai kepribadian[1]:
- Survei mandiri
- Survei peringkat oleh pengamat
- Ukuran proyeksi (Rorschach Inkblot test dan Thematic Apperception Test)
Sifat kepribadian utama yang memengaruhi perilaku organisasi
Evaluasi inti diri
Evaluasi inti diri adalah tingkat di mana
individu menyukai atau tidak menyukai diri mereka sendiri, apakah mereka
menganggap diri mereka cakap dan efektif, dan apakah mereka merasa memegang
kendali atau tidak berdaya atas lingkungan
mereka.[9]
Evaluasi inti diri seorang individu ditentukan oleh dua elemen utama: harga diri
dan lokus kendali.[9]
Harga diri didefinisikan sebagai tingkat menyukai diri sendiri dan tingkat
sampai mana individu menganggap diri mereka berharga atau tidak berharga
sebagai seorang manusia.[9]
Machiavellianisme
Machiavellianisme adalah tingkat di mana seorang
individu pragmatis, mempertahankan jarak emosional, dan yakin bahwa hasil lebih
penting daripada proses.[9]
Karakteristik kepribadian Machiavellianisme berasal dari nama Niccolo
Machiavelli, penulis pada abad keenam belas yang menulis tentang cara
mendapatkan dan menggunakan kekuasaan.[9]
Narsisisme
Narsisisme adalah kecenderungan menjadi arogan, mempunyai
rasa kepentingan diri yang berlebihan, membutuhkan pengakuan berlebih, dan
mengutamakan diri sendiri.[1]
Sebuah penelitian mengungkap bahwa ketika individu narsisis berpikir mereka
adalah pemimpin yang lebih baik bila dibandingkan dengan rekan-rekan mereka,
atasan mereka sebenarnya menilai mereka sebagai pemimpin yang lebih buruk.[1]
Individu narsisis seringkali ingin mendapatkan pengakuan dari individu lain dan
penguatan atas keunggulan mereka sehingga individu narsisis cenderung memandang
rendah dnegan berbicara kasar kepada individu yang mengancam mereka.[1]
Individu narsisis juga cenderung egois dan eksploitif, dan acap kali
memanfaatkan sikap yang dimiliki individu lain untuk keuntungannya[1].
Pemantauan diri
Pemantauan diri adalah kemampuan seseorang untuk
menyesuaikan perilakunya dengan faktor situasional eksternal.[10]
Individu dengan tingkat pemantauan diri yang tinggi menunjukkan kemampuan yang
sangat baik dalam menyesuaikan perilaku dengan faktor-faktor situasional
eksternal[10].
Bukti menunjukkan bahwa individu dengan tingkat pemantauan diri yang tinggi
cenderung lebih memerhatikan perilaku individu lain dan pandai menyesuaikan
diri bila dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat pemantauan diri
yang rendah.[10]
Kepribadian tipe A
Kepribadian tipe A adalah keterlibatan secara
agresif dalam perjuangan terus-menerus untuk mencapai lebih banyak dalam waktu
yang lebih sedikit dan melawan upaya-upaya yang menentang dari orang atau hal
lain.[11]
Dalam kultur Amerika Utara, karakteristik ini cenderung dihargai dan dikaitkan
secara positif dengan ambisi dan perolehan barang-barang material yang berhasil.[11]
Karakteristik tipe A adalah:[11]
- selalu bergerak, berjalan, dan makan cepat;
- merasa tidak sabaran;
- berusaha keras untuk melakukan atau memikirkan dua hal pada saat yang bersamaan;
- tidak dapat menikmati waktu luang;
- terobsesi dengan angka-angka, mengukur keberhasilan dalam bentuk jumlah hal yang bisa mereka peroleh.
Kepribadian proaktif
Kepribadian proaktif adalah sikap yang cenderung
oportunis, berinisiatif, berani bertindak, dan tekun hingga berhasil mencapai
perubahan yang berarti. Pribadi proaktif menciptakan perubahan positif daalam
lingkungan tanpa memedulikan batasan atau halangan.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar